Kamis, 01 April 2010

Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance

Corporate governance dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan “pengendalian perusahaan” atau “tata kelola perusahaan”, atau ada juga yang menterjemahkan dengan “tata-pamong perusahaan”. Dengan demikian good corpoorate governance (GCG) dapat diterjemahkan sebagai “tata kelola perusahaan yang baik”. Timbulnya GCG dipicu oleh terjadinya berbagai skandal besar yang menimpa perusahaan-perusahaan baik di Inggris maupun Amerika Serikat pada tahun 1980an berupa berkembangnya budaya serakah dan pengambilalihan perusahaan secara agresif sehingga menyadarkan perlunya sistem tata kelola perusahaan. Tata kelola ini diperlukan karena dalam suatu perusahaan selalu terjadi pertarungan antara kebebasan pribadi dan tanggung jawab kolektif, selalu ada potensi konflik antara pemilik saham dan pimpinan perusahaan, antara pemilik saham mayoritas dan minoritas, antara pekerja dan pimpinan perusahaan, ada potensi mengenai pelanggaran perlindungan lingkungan, potensi kerawanan dalam hubungan antara perusahaan dan masyarakat setempat, antara perusahaan dan pelanggan ataupun pemasok, dan sebagainya. Oleh karena itu pertarungan dan potensi konflik itulah yang menjadi inti pengaturan dari GCG. semula paham corporate governance berkembang di negara-negara seperti Inggris dan Amerika, namun kemudian juga berkembang di negara-negara lain. Akhirnya GCG menjadi suatu konsep untuk mengelola perusahaan secara baik di banyak negara termasuk Indonesia. Namun demikian sampai saat ini belum ada kesamaan pengertian tentang GCG. Terkait dengan pengertian GCG, Mishardi Wilamarta dalam bukunya yang berjudul “Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good Corporate Governance” mengemukakan berbagai pengertian GCG sebagai berikut:
  1. Konsep yang menyangkut struktur perseroan, pembagian tugas, pembagian wewenang dan pembagian beban bertanggung jawab dari masing-masing unsur yang membentuk struktur perseroan dan mekanisme yang harus ditempuh oleh masing-masing unsur dari struktur perseroan tersebut serta hubungan-hubungan antara unsur-unsur dari struktur perseroan, mulai dari RUPS, direksi, komisaris, juga mengatur hubungan antar unsur-unsur dari struktur perseroan dengan unsur-unsur di luar perseroan, yaitu negara yang sangat berkepentingan akan memperoleh pajak dari perseroan yang bersangkutan dan masyarakat luas, yang meliputi para investor publik dari perseroan itu, calon investor, kreditor dan calon kreditor perseroan.
  2. perangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditor, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya, sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.
  3. Proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan urusan-urusan perusahaan, dalam rangka meningkatkan kemakmuran bisnis dan akuntabilitas perusahaan, dengan tujuan utama mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder yang lain.
  4. Seluruh sistem dari hak, proses dan pengendalian yang dibentuk di dalam dan di luar manajemen secara menyeluruh dengan tujuan untuk melindungi kepentingan stakeholder.
  5. Keterkaitan antara kepemilikan suatu organisasi perusahaan dan manajemen, peranan, keterkaitan dan tanggung jawab pada pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung pada organisasi perusahaan yang disebut stakeholders responsibility.
  6. Kumpulan hukum, peraturan dan kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.
  7. Sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan, agar mencapai kesinambungan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan, untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada stakeholders. Hal ini berkaitan dengan pengaturan kewenangan pemilik, direktur, manajer, pemegang saham, dan sebagainya.
Dari berbagai pengertian tentang GCG tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan GCG adalah suatu konsep untuk mengelola perusahaan secara baik. Di dalam pengelolaan tersebut diatur struktur perusahaan; tugas, Hambatan Implementasi Tata...... 469
wewenang, dan tanggung jawab dari masing-masing organ perusahaan yangmembentuk struktur perusahaan; hubungan internal antar organ perusahaan sehingga tercipta check-balance yang baik dalam mengelola perusahaan; dan juga hubungan eksternal perusahaan dengan stakeholder di luar perusahaan (secondary stakeholder).
Meskipun konsep GCG beragam, namun semuanya didasarkan pada suatu tujuan yang diorientasikan pada upaya penciptaan pengelolaan perusahaan yang efektif dan efisien sekaligus mampu melindungi hak-hak dari para pelaku perusahaan sehingga akhirnya terwujudlah budaya perusahaan (corporate culture) yang sehat dan baik. Tujuan dan maksud dari GCG juga
dapat ditemukan dalam Pedoman GCG yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, sebagai berikut:
  1. memaksimalisasi nilai perseroan dan nilai perseroan bagi saham dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional, serta dengan demikian menciptakan ilklim yang mendukung investasi.
  2. mendorong pengelolaan perseroan secara profesional, transparan dan efisien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian Dewan Komisaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
  3. Mendorong agar pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial Perseroan terhadap pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun kelestarian lingkungan disekitar Perseroan.
Terkait dengan tujuan GCG, I Ketut Mardjana mengungkapkan bahwa Corporate governance merupakan proses dan struktur pengelolaan bisnis dan urusan-urusan perusahaan lainnya dalam rangka meningkatkan kemakmuran korporasi dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama mewujudkan nilai pemegang saham yang optimal dalam jangka panjang dan dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain. Dengan demikian corporate governance mengandung dua aspek keseimbangan utama, yakni:
  1. Keseimbangan internal, yang mengatur hubungan antara organ-organ perusahaan yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisaris dan Direksi. Khususnya yang mencakup hal-hal yang berkaitan dengan struktur kelembagaan dan mekanisme operasional, dan
    2. Keseimbangan eksternal, yang menekankan bahwa perusahaan sebagai entitas bisnis yang berada di tengah-tengah masyarakat hendaknya juga memperhatikan hubungan antara perusahaan dengan seluruh stakeholder sebagai perwujudan dari pemenuhan tanggung jawab perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan selayaknya menciptakan keseimbangan antara kepentingan pemegang saham untuk mendapatkan keuntungan dan berbagai kemanfaatan bagi stakeholder lainnya sehingga dalam jangka panjang penyelenggaraan korporasi tidak menimbulkan benturan kepentingan Agar GCG dapat diselenggarakan dengan baik maka ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu:
    a. Pertanggungjawaban (responsibility). Tanggung jawab perusahaan tidak hanya diberikan kepada pemegang saham melainkan juga kepada stakeholder.
    b. Transparansi (transparency). Perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.
    c. Akuntabilitas (accountability). Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar
    d. Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness). Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran
    e. Independensi (Independency). Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak. Di Indonesia, konsep GCG mulai banyak diperbincangan di Indonesia pada pertengahan tahun 1997, saat krisis ekonomi melanda Asia Tenggara termasuk Indonesia. Dampak dari krisis tersebut, banyak perusahaan (termasuk BUMN) berjatuhan karena tidak mampu bertahan. Salah satu penyebabnya adalah karena pertumbuhan yang dicapai tidak dibangun di atas landasan yang kokoh sesuai prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
Pengaturan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Persero dalam UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007
Sebagaimana telah dijelaskan, Persero merupakan salah satu jenis BUMN dan karenanya Persero tunduk pada UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal 19 Juni 2003. Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum UU No. 19 Tahun 2003, Bab VI, Paragraf II, Pembentukan UU No. 19 Tahun 2003 tersebut antara lain dimaksudkan untuk memenuhi visi pengembangan BUMN di masa yang akan datang dan meletakkan dasar-dasar atau prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Lebih lanjut Bab VI, Paragraf III juga menyebutkan bahwa UU No. 19 Tahun 2003 juga dirancang untuk menciptakan sistem pengelolaan dan pengawasan berlandasakan pada prinsip efisiensi dan produktivitas guna meningkatkan kinerja dan nilai (value) BUMN, serta menghindarkan BUMN dari tindakan-tindakan pengeksploitasian di luar asas tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Dengan demikian, dari Penjelasan Umum tersebut nampak bahwa UU No. 19 Tahun 2003 memberikan aturan yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengelola Persero secara baik berdasarkan pada prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran. Mengingat Persero berbentuk perseroan terbatas maka selain tunduk pada UU No. 19 Tahun 2003, Persero juga tunduk pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 yang menyebutkan “Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”. Pada tanggal 16 Agustus 2007, UU No. 1 Tahun 1995 diganti atau disempurnakan dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum Paragraf II UU No. 40 Tahun 2007, salah satu alasan penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1995 tersebut adalah meningkatnya tuntutan masyarakat akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance). Dengan demikian sama dengan UU No. 19 Tahun 2003, UU No. 40 Tahun 2007 juga telah mengakomodir tata cara pengelolaan perusahaan (termasuk Persero) secara
baik. Pengaturan GCG baik yang ada dalam UU No. 19 Tahun 2003 maupun UU No. 40 Tahun 2007 tidak hanya mencakup keseimbangan internal yang mengatur hubungan antara organ-organ Persero dalam suatu struktur perusahaan, melainkan juga keseimbangan eksternal yang menekankan perusahaan untuk memperhatikan hubungannya dengan seluruh stakeholders sebagai perwujudan dari pemenuhan tanggung jawab perusahaan. Selain itu sebagai pelaksanaan dari prinsip pertanggungjawaban, UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007 juga mengamanatkan perusahaan untuk mentaati semua peraturan perundang-undangan.17 Sebagaimana dikemukakan Haryadi Sukamdani, tingkat ketaatan perusahaan pada peraturan perundang-undangan merupakan salah satu indikator selain laba perusahaan untuk mengukur seberapa jauh suatu perusahaan telah menerapkan GCG. Terkait dengan keseimbangan internal, UU No. 19 Tahun 2003 juncto UU No. 40 Tahun 2007 antara lain mengatur mengenai: 1) struktur organ BUMN yang berbentuk Persero beserta tugas, wewenang, dan tanggung jawab dari masing-masing organ; 2) hubungan antar organ Persero sehingga terciptalah check and balance yang baik dalam pengelolaan, pengurusan, dan pengawasan Persero; dan 3) hubungan antara Persero dengan pemegang saham. Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003 juncto UU No. 40 Tahun 2007, struktur Persero terdiri dari RUPS, Direksi, dan Komisaris. Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan Persero untuk kepentingan dan tujuan Perseroserta mewakili Persero baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sedangkan Komisaris bertanggung jawab penuh atas pengawasan Persero untuk kepentingan dan tujuan Persero, serta memberikan nasihat kepada Direksi. Dalam melaksanakan tugasnya, baik Direksi dan Komisaris harus mematuhi Anggaran Dasar Persero, peraturan perundang-undangan, dan wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi,
kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran (prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik). Selain kewajiban, UU juga mengatur larangan bagi Direksi, dan Komisaris untuk mengambil keuntungan pribadi baik secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan Persero. Mereka juga dilarang dan tidak berwenang mewakili Persero apabila terjadi perkara di depan pengadilan antara Persero dengan dirinya atau mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Persero. Larangan lainnya adalah tidak boleh merangkap jabatan yang dapat menimbulkan benturan kepentingan dan jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Khusus untuk Direksi juga dilarang untuk merangkap jabatan struktural dan fungsional lainnya pada instansi/ lembaga pemerintah pusat dan daerah. Direksi dan Komisaris, dan bahkan karyawan BUMN dilarang untuk memberikan atau menawarkan atau menerima baik langsung maupun tidak langsung sesuatu yang berharga kepada atau dari pelanggan atau seorang pejabat pemerintah untuk mempengaruhi atau sebagai imbalan atas apa yang telah dilakukannya dan tindakan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Organ lainnya yaitu RUPS juga diatur di dalam UU No. 19 Tahun 2003. Di dalam Persero, Menteri19 bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham Persero dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada persero dan perseroan terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara. Menteri dapat memberikan kekuasaannya tersebut dengan hak substitusi kepada perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS. Namun pihak yang menerima kuasa harus mendapat persetujuan dari Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai perubahan jumlah modal; perubahan anggaran dasar, rencana penggunaan laba; penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran Persero, investasi dan pembiayaan jangka panjang; kerjasama Persero; pembentukan anak perusahaan atau penyertaan;
dan pengalihan aktiva. Selaku RUPS atau pemegang saham mayoritas, Menteri memiliki kewenangan yang cukup besar untuk mengangkat dan memberhentikan Direksi dan Komisaris. Namun demikian pengangkatan dan pemberhentian tersebut tidak dapat dilakukan sesuka hati, melainkan harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007. Secara umum, untuk dapat diangkat sebagai Direksi dan Komisaris, seseorang harus mampu melakukan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan Persero dinyatakan pailit atau orang yang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Selain syarat tersebut, pengangkatan seseorang menjadi Direksi, Komisaris, atau Dewan Pengawas juga harus berdasarkan pada pertimbangan keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman, jujur, perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan mengembangkan BUMN. Khusus untuk pengangkatan anggota Direksi dilakukan melalui uji kelayakan dan kepatutan. Sedangkan untuk pemberhentian Direksi dan Komisaris dapat dilakukan sewaktu-waktu, namun dengan menyebutkan alasannya. Sebagai alat kontrol terhadap Persero, UU No. 19 Tahun 2003 mengatur satuan pengawasan intern, Komite Audit, dan Komite lain. Satuan pengawas intern merupakan aparat pengawas intern perusahaan yang dipimpin oleh seorang kepala dan bertanggung jawab kepada Direktur Utama. Atas permintaan tertulis Komisaris, Direksi memberikan keterangan hasil pemeriksaan atau hasil pelaksanaan tugas satuan pengawasan intern. Direksi juga wajib memperhatikan dan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan atas segala sesuatu yang dikemukakan dalam setiap laporan hasil pemeriksaan yang dibuat oleh satuan pengawasan intern. Sedangkan Komite Audit wajib dibentuk oleh Komisaris untuk membantu mereka dalam melaksanakan tugasnya. Komite Audit tersebut dipimpin oleh seorang ketua yang bertanggung jawab kepada
Komisaris. Selain Komite Audit, Komisaris juga dapat membentuk komite lain yang ditetapkan oleh Menteri.Untuk menjadikan Persero bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, UU No. 19 Tahun 2003 juga mengatur mengenai pemeriksaan eksternal. Dalam hal ini pemeriksaan laporan keuangan perusahaan dilakukan oleh auditor eksternal yang ditetapkan oleh RUPS. Selain auditor eksternal, Badan Pemeriksa Keuangan juga berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Persero sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 71 UU No. 19 tahun 2003). UU No. 19 Tahun 2003 juga mengatur bahwa selain organ Persero, pihak lain mana pun dilarang campur tangan dalam pengurusan Persero. Ketentuan ini cukup penting agar Direksi dapat mengelola Persero secara independent, terlepas dari campur tangan pihak mana pun. Hal lain yang diatur dalam keseimbangan internal adalah hubungan antara Persero dengan pemegang saham. Terkait dengan hal ini, Pasal 3 UU No. 40 Tahun 2007 mengatur bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan (Persero) dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. Namun demikian ketentuan tersebut tidak berlaku apabila: a) persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c) pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; d) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. Aturan lainnya yang mengatur hubungan Persero dengan pemegang saham adalah Pasal 52 UU No. 40 Tahun 2007 yang memberikan hak kepada pemegang saham untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS; menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; dan menjalankan hak lainnya berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007. Aturan lainnya yang penting dan merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang saham, khususnya pemegang saham minoritas adalah Pasal 61 dan Pasal 62 UU No. 40 Tahun 2007. Pasal 61 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 memberikan hak kepada pemegang saham untuk mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. Sedangkan Pasal 62 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 memberikan hak kepada pemegang saham untuk meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutann tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan berupa: a) perubahan anggaran dasar; b) pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% kekayaan bersih Perseroan; atau c) penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan.
Sedangkan terkait dengan keseimbangan eksternal, UU No. 19 Tahun 2003 juncto UU No. 40 Tahun 2007 mengatur hubungan eksternal antara Persero dengan stakeholders di luar perusahaan (secondary stakeholders) seperti pengusaha kecil; menengah; dan koperasi; dan juga masyarakat. Hubungan ini penting yaitu selain dapat meminimalisasi atau bahkan mengantisipasi benturan kepentingan antara Persero dengan secondary stakeholders, Persero juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi secondary stakeholders khususnya bagi masyarakat yang ada di sekitar Persero. Sebagai contoh hubungan eksternal tersebut adalah pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan/ Persero (Corporate Social Responsibility/CSR). Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. Dalam UU No. 19 Tahun 2003 diatur bahwa dalam rangka melaksanakan CSR, Persero dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN Pasal 88 ayat (1). Ketentuan ini merupakan upaya untuk mencapai salah satu tujuan BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003, yaitu turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Selain itu Persero dalam batas kepatutan juga dapat memberikan donasi untuk amal atau tujuan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 90 UU No. 19 Tahun 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar